Cerita Alam Nusantara [CAN]

Dalam upaya turut serta membantu pemberdayaan masyarakat dan mengoptimalkan daerah desa wisata Banyu Biru didaerah Labuan, Banten, Komunitas Cerita Alam Nusantara (CAN) bertemu dengan para tokoh desa Banyubiru. Sekaligus juga menghadap Kepala Taman Nasional Ujung Kulon Ir.Anggodo M.M menyampaikan maksud dan tujuan CAN untuk bermitra dan siap membantu program program Konservas pemerintah khususnya yang ada dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.

Diskusi dan kegiatan Podcast dengan kepala TNUK di desa Banyu Biru membahas tentang kegiatan dan program konservasi alam dan Badak Jawa di dalam kawasan TNUK terus dilakukan.

Awal CAN

Bermula dari kecintaan dan kepedulian terhadap sesama makhluk dan kekayaan hayati di Nusantara, sekumpulan insan dengan berbagai latar belakang wawasan , pengalaman dan talenta, bersatu membentuk sebuah komunitas yang peduli dengan konservasi dan keindahan Indonesia. Memahami dengan belajar bersama bagaimana hidup dapat berdampingan dengan makhluk hidup lain ciptaanNYA. Mengenali berbagai karakter satwa maupun fauna menjadi sebuah pengalaman bathin untuk dapat menjadikan mereka sahabat yang harus terus dijaga kelangsungan hidupnya.

CAN, Cerita Alam Nusantara, adalah wadah yang dibentuk pada Maret 2020 atas dasar kesamaan minat dalam keinginan untuk dapat menyumbangkan pikiran dan kemampuan yang ada dalam menjaga kelestarian alam Nusantara yang begitu kaya dengan ragam flora maupun fauna.

Tujuan dari komunitas ini adalah ikut berperan aktif dalam kegiatan konservasi, dengan salah satuprogram awalnya adalah pelestarian Badak Jawa.

Kondisi Badak Jawa yang populasinya tinggal 68 ekor di Ujung Kulon menggerakkan komunitas ini untuk melakukan tindakan pelestarian melalui kampanye dan kreatifitas dari masing-masing individu yang ada.

Terkait populasi badak jawa, tahun 1967 di Ujung Kulon memang untuk pertama kalinya dilakukan sensus yang saat itu diperkirakan antara 21–28 individu. Turun naiknya populasi saat itu, selain adanya kelahiran, juga dipengaruhi perburuan (Schenkel dan Schenkel, 1969). Setelah adanya pengawasan ketat, jumlahnya bertambah hingga mencapai 45 individu (Schenkel dkk, 1978).

Badak jawa yang saat itu tersebar di Jawa bagian timur dan barat, serta di sumatera bagian selatan (Blyth, 1862; Beaufort, 1934), oleh Pemerintahan Belanda dianggap hama perkebunan jati, karet, dan teh. Kondisi yang berlangsung hingga penghujung abad ke-19. Siapa saja yang berhasil membunuh badak, akan diberi hadiah.

Benua Asia dan Afrika dikenal tempat hidupnya 5 jenis badak. Di Asia ada 3 jenis (badak jawa, badak sumatera, dan badak india), serta 2 jenis di Afrika (badak hitam dan badak putih berbibir tebal). Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) adalah salah satu jenis badak yang masih dapat mempertahankan hidupnya di Ujung Kulon, bagian ujung paling barat Pulau Jawa.

Tahun 1833 satwa ini masih di temukan di Wonosobo, Nusakambangan (1834), Telaga Warna (1866), Gunung Slamet (1867), Tangkuban Perahu (1870), Gunung Gede dan Pangrango (1880), Gunung Papandayan (1881), Gunung Ceremai (1897), dan pada 1912 masih ditemukan di sekitar Karawang. Wilayah yang dulunya dihuni badak diabadikan menjadi nama tempat seperti Ranca Badak di Bandung, Rawa Badak di Jakarta Utara, Kandang Badak di Gunung Gede Pangrango, dan Cibadak di Sukabumi.

Pada tahun 1910 badak jawa secara resmi dilindungi undang-undang oleh Pemerintah Hindia Belanda, walaupun tanda-tanda ancaman perburuan masih ada, sebab belum ada pengawasan efektif. Pada 1921, berdasarkan rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, Ujung Kulon oleh Pemerintah Belanda dinyatakan sebagai Cagar Alam (Hoogerwerf, 1970). Berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), badak jawa ditetapkan berstatus Kritis (Critically Endangered/CR) atau satu langkah menuju kepunahan.

Kini badak jawa hanya dapat dijumpai di habitat alaminya yang relatif sempit dengan populasi yang sangat terbatas di Semenanjung Ujung Kulon. Faktor kerentanan lain terhadap kehidupan badak jawa adalah populasinya yang relatif rendah. Berdasarkan kamera jebak, diperkirakan ada 68 ekor. (Balai TNUK, 2018). Sesuai namanya CAN, komunitas ini menyuarakan kepedulian dalam bentuk tuturan kata, baik cerita, edukasi, bahasa gambar, merchandise yang mengupas berbagai hal tetang alam hayati, flora, fauna di Bumi Nusantara Indonesia. (ars)

Sumber: triphacks.id

Bakmi Polim